Produksi Tembus 1 Juta Ton, Nikel RI jadi Incaran Dunia

Jakarta (CN) Pemerintah mendorong hilirisasi berbagai komoditas untuk meningkatkan nilai tambah, salah satunya nikel. Nikel merupakan komoditas yang kini tengah ‘naik daun’ karena dibutuhkan untuk pembuatan baterai kendaraan listrik.

Di sisi lain, mengutip situs Kementerian Koordinator Perekonomian, Indonesia merupakan negara yang kaya akan nikel. Data US Geological Survey menunjukkan cadangan nikel Indonesia menempati peringkat pertama yakni mencapai 21 juta ton atau setara dengan 22% cadangan global. Produksi nikel Indonesia juga menempati peringkat pertama yakni sebesar 1 juta ton, melebihi Filipina (370 ribu ton) dan Rusia (250 ribu ton).

Adapun upaya pemerintah melakukan hilirisasi ini diwujudkan dengan mendorong pembangunan fasilitas pengolahan nikel.

Bertempat di Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto melakukan peletakan batu pertama (groundbreaking) Pembangunan Proyek Pertambangan dan Pengolahan Nikel Rendah Karbon Terintegrasi PT Vale Indonesia Tbk (PT Vale) dan PT Bahodopi Nickel Smelting Indonesia (PT BNSI).

Lokasi pertambangan berada di Kecamatan Bungku Timur dan Bahodopi serta lokasi pabrik pengolahan yang berada di Desa Sambalagi, Kecamatan Bungku Pesisir.

Alokasi total biaya investasi untuk proyek tersebut mencapai Rp 37,5 triliun dengan kapasitas produksi mencapai 73 ribu ton per tahun.

“Saya berharap ini akan diikuti dengan peletakan batu-batu berikutnya. Insyallah bisa diselesaikan dalam 2,5 tahun. Saya lihat kemampuan tim dan semangat yang ada, di mana proyek terlihat semuanya rapi dan tertata, saya yakin ini bagian dari manajemen yang baik,” kata Airlangga dikutip dari situs Kementerian Koordinator Perekonomian, Jumat (10/2/2023).

Smelter nikel yang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional tersebut menggunakan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) dan didukung sumber listrik yang berasal dari gas alam. Hal itu akan mengurangi emisi karbon dari keseluruhan operasi proyek dengan target hingga 33% pada 2030.

“Ini pabrik green smelter pertama yang saya lihat. Berbasis gas LNG, tentu minta dukungan dari Komisi Energi (DPR RI) bahwa ini adalah green energy, green product, dan green mining. Indikator green economy itu mudah, kita lihat langitnya warna biru atau abu-abu. Kalau langit biru berarti sudah harmoni, hijau, dan baik,” jelasnya.

Proyek ini diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sulawesi Tengah secara khusus dan pulau Sulawesi pada umumnya. Keberadaan proyek ini juga membantu menyerap sekitar 12 ribu hingga 15 ribu tenaga kerja saat masa konstruksi dan sekitar 3 ribu tenaga kerja saat operasional.

“Diharapkan ada multiplier effect yang didapatkan masyarakat dari kegiatan ini, dan masyarakat bisa terlibat pada ekosistem pengembangan industri yang ada di Morowali. Pertumbuhan yang cepat akan diikuti kesejahteraan masyarakat, karena investasi artinya adalah lapangan kerja.

Saya mengimbau agar korporasi mengirim sebanyak-banyaknya pemuda-pemudi di sekitar sini untuk pendidikan dan pelatihan, sehingga nanti bisa bekerja di perusahaan ini,” terangnya.(dtk)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *